tapaktuan

tapaktuan
acehselatan

Selasa, 22 Februari 2011

Surat Dukungan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan


Assalammu’alaikum Wr. Wbr.

Dengan hormat.
Bersama surat ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh menyampaikan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan beberapa hal sebagai berikut:

  • Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh sangat mendukung rekomendasi Ketua Tim Pansus DPRK Aceh Selatan bersama Wakil Ketua dan 14 anggota DPRK Aceh Selatan yang meminta kepada Eksekutif, dalam hal ini Bupati Aceh Selatan agar mencabut segera seluruh izin usaha pertambangan batu bijih besi di kawasan Desa Simpang Dua Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.
  • Permintaan pencabutan izin sebagaimana yang disampaikan Tim Pansus DPRK Aceh Selatan sangat sesuai dengan hasil investigasi WALHI yang dilakukan beberapa waktu yang lalu, telah menemukan banyak terjadi kerusakan lingkungan dan rentannya konflik sosial pada daerah penambangan (ringkasan hasil investigasi sebagaimana terlampir).
  • Perlu kami sampaikan bahwa usaha penambangan yang selama ini oleh PT Pinang Sejati Utama (PSU) dan KSU Tiega Manggis ternyata belum memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar lokasi tambang, disamping itu pengerukan lahan untuk tambang terbukti nyata telah merusak lingkungan hidup, terganggunya ekosistem, sumber air dan infrastruktur publik, apalagi jika perusahaan tambang tersebut tidak melakukan perbaikan terhadap lahan bekas galiannya.
  • Sangat penting bagi DPRK Aceh Selatan untuk terus konsisten berjuang melestarikan lingkungan melalui kewenangan yang dimilikinya sehingga alam dan lingkungan Aceh Selatan bisa tetap lestari dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Untuk itu sekali lagi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mendukung agar DPRK Aceh Selatan segera melakukan rapat paripurna terhadap hasil Pansus sebagai ketetapan DPRK Aceh Selatan.
Demikian surat dukungan ini kami sampaikan, semoga perhatian dan keseriusan DPRK Aceh Selatan terhadap perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup dapat menjadi contoh bagi berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan di Provinsi Aceh.

Banda Aceh, 22 Februari 2011
Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh

MUSTIQAL SYAH PUTRA SH. 
Kepala Divisi Ekonomi, Sosial dan Budaya

Tembusan :
  • Presiden Republik Indonesia, di Jakarta;
  • Ketua DPR RI, di Jakarta;
  • Menteri Negara Lingkungan Hidup, di Jakarta;
  • Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral RI, di Jakarta;
  • Gubernur Provinsi Aceh, di Banda Aceh;
  • Ketua DPR Aceh, di Banda Aceh;
  • Kepala Bapedal Provinsi Aceh, di Banda Aceh;
  • Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Aceh, di Banda Aceh;
  • Bupati Kabupaten Aceh Selatan, di Tapaktuan;
  • Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Aceh Selatan, di Tapatuan;
  • Ketua Forum bersama DPR/DPD RI asal Aceh di Jakarta;
  • Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta;
  • Direktur Eksekutif Nasional WALHI di Jakarta;
  • Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) di Jakarta;
  • Direktur Eksekutif WALHI Aceh di Banda Aceh;
  • Koordinator LBH Pos Tapaktuan di Tapaktuan
  • Arsip.
Lampiran:
Ringkasan Hasil Investigasi WALHI Aceh terhadap Kondisi Tambang Aceh Selatan 

Potensi konflik di daerah penambangan Aceh Selatan tinggi, Pemkab Aceh Selatan harus cepat bertindak


Sejak zaman dahulu Aceh Selatan sudah dikenal dengan endapan bijih besi yang ditemukan di beberapa tempat. Hal ini memancing perusahaan untuk membuka kegiatan penambangan di daerah tersebut sehingga sering mengabaikan kawasan terlarang seperti penambangan di kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan berdampak negatif pada masyarakat sekitar. Perusahaan penambang berupaya bekerja sama dengan sekelompok masyarakat lokal yang pada akhirnya ketika muncul insiden maka terjadilah konflik horizontal.

Salah satu konsentrasi penambangan di Aceh Selatan adalah di Kecamatan Kluet Tengah dengan jenis bahan tambang bijih besi dan emas. Mereka memperoleh informasi tentang kandungan bumi yang mengandung tambang dari hasil penyelidikan tertulis dalam literature geologi maupun hasil dari penyelidikan perusahaan eksplorasi.

Beberapa perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Kluet Tengah diantaranya Koperasi Serba Usaha (KSU) Tiega Manggis yang memiliki Kuasa Pertambangan (KP) eksploitasi untuk bijih besi dan PT Multi Mineral Utama (MMU) yang memilki KP eksplorasi untuk emas primer dan turutannya. KSU Tiega Manggis merupakan koperasi yang diorganisir oleh sekelompok tokoh-tokoh masyarakat setempat.

KSU Tiega Manggis
KSU Tiega Manggis memiliki nomor izin tampat usaha; No. 300/256/ITU/V/P/2008 dengan skala usaha seluas 170 Ha. KSU Tiega Manggis sebagai KP juga memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta menggandeng PT Pinang Sejati Utama (PSU) sebagai kontraktor penambangan bijih besi. UPL dan UKL telah selesai disusun per tanggal 11 agustus 2008 oleh konsultan pelaksana PT. DYPERSI KONSULTAN UTAMA, dengan alamat Jalan Tanjung VIII No. 2 Telp. (0651) 635873  Fax. (0651) 635873 Ie Masen Kayee Adang – Banda Aceh.

Pemkab Aceh Selatan melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Aceh Selatan mengeluarkan Surat Rekomendasi Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Aceh Selatan  No. 454/03C/l/2007 yang sifatnya mendukung eksploitasi dengan tetap memperhatikan laporan lengkap eksplorasi kelayakan yang disetujui oleh Dinas Pertambangan dan Energi, dan laporan AMDAL yang juga disetujui oleh Komisi AMDAL seperti disebutkan dalam dokumen izin Pemerintah Daerah. Sesuai dengan data dari Dinas Pertambangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Aceh Selatan tertanggal 4 Mei 2009, Bupati Aceh Selatan telah mengeluarkan Surat Keputusan Izin Kuasa Pertambangan No. 84./Tahun 2010 yang berlaku mundur  mulai  23 April 2008 sampai dengan 20 April 2011, (surat izin berlaku, sebuah keanehan).

Pada tanggal 6 April 2010, masyarakat setempat mulai melakukan protes  terhadap PT PSU melalui Pemkab Aceh Selatan. Hal ihwal protes terjadi karena jalan yang menghubungkan Kuta Fajar dan Menggamat rusak berat padahal baru setahun lalu dilakukan pengaspalan dengan aspal hot mix. Penggunaan jalan ini untuk operasi penambangan telah mendapatkan izin dari Pemkab Aceh Selatan, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat dan janji daripada PT PSU untuk menggantikan jalan yang rusak oleh aktivitas mereka. Biang kerusakan jalan diakibatkan oleh 150 truk pengangkut material tambang PT PSU yang bergabung dalam perkumpulan Kluet Raya Motor (KRM). Menurut pengakuan supir truk, kapasitas angkut melebihi dari kekuatan daya dukung jalan yang ada dan izin yang telah berikan oleh Dinas Perhubungan Aceh Selatan yaitu sebesar 6 ton pertrip.

Selain jalan yang rusak dan berdebu, masyarakat juga mengeluhkan beroperasinya armada KRM sampai dengan larut malam dan berlangsung setiap hari. Hal ini tidak sesuai dengan dokumen UKL dan UPL daripada KSU Tiega Manggis yang menyatakan bahwa waktu operasional perusahaan hanya 7 jam dalam sehari dan 6 hari dalam seminggu.

Dalam dokumen UKL-UPL juga disebutkan KSU Tiega Manggis akan menyediakan alat penghancur batuan (crusher) lokasi penambangan sehingga diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dan mineral yang dibawa keluar juga sudah terseleksi. Namun dalam kenyataannya koperasi tidak memasang alat Crusher, langsung membawa material tambang menuju pelabuhan Bakongan untuk kapalkan dengan tongkang menuju lokasi pengolahan selanjutnya yang tidak diketahui secara pasti. Efek peningkatan tenaga kerja dari masyarakat setempat tidak tercapai oleh karena ini.

Operasional PT PSU sebagai kontraktor penambangan bijih besi menyebabkan pencemaran air di sungai Menggamat yang menjadi salah satu sumber air bersih bagi desa-desa yang dilaluinya terutama di kecamatan Kluet Tengah. Penambangan yang dilakukan adalah penambangan terbuka (open mining) sehingga ketika hujan turun, air limpasan dari daerah tambang yang mengandung lumpur pekat mengalir ke sungai. PT PSU juga tidak membuat kolam-kolam pengendapan untuk limpasan air sebelum dialirkan kesungai sehingga limpasan erosi dari aktivitas tambang langsung lepas ke sungai pada waktu hujan turun.

Dari hasil peninjauan lapangan, PT PSU belum membangun jembatan penyeberangan di sungai Menggamat yang menghubungkan desa Simpang Dua dengan lokasi penambangan. Truk-truk pengangkut material langsung masuk kedalam badan sungai untuk keluar-masuk lokasi penambangan.

Potensi konflik
Masyarakat mulai menuntut PT PSU segera memperbaiki jalan yang telah rusak dan kompensasi lainnya seperti jaminan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar tambang. Tanggal 17 April lalu masyarakat dari Mukim Menggamat berniat melakukan penyegelan terhadap operasional PT PSU, namun batal karena anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) setempat langsung turun untuk melakukan pengamanan di lokasi tambang.
Masyarakat juga mendesak waktu operasional armada pengangkutan material tidak sampai larut malam karena hal ini sangat menganggu bagi masyarakat rumahnya dekat dengan jalan. Masyarakat juga menuntut KRM untuk memperkerjakan tenaga lokal karena selama ini tenaga kerjanya berasal dari luar, sedangkan pemilik armada sebagian besar adalah penduduk Aceh Selatan dari eks kombatan.

Pada tanggal 19 April 2010 salah satu truk pengangkut dari armada KRM di kecamatan Pasie Raya terbakar dalam posisi terparkir di pinggir jalan raya. Belum diketahui secara pasti penyebab terbakarnya truk tersebut namun peristiwa ini semakin ‘memanaskan’ suasana antara masyarakat setempat dan KRM.
Masyarakat yang berada di sekitar lokasi penambangan sebenarnya telah melakukan berbagai perjanjian dengan perusahaan penambangan sebelum perusahaan tersebut beroperasi.  Perjanjian ini dilaksanakan di depan notaris. Namun sampai kini, hasil lengkap perjanjian tersebut tidak berada di tangan masyarakat. Isi perjanjian tersebut lebih kurang sama dengan apa yang dituntut masyarat Mukim Manggamat.

Pada tanggal 19 April 2010, delegasi masyarakat Kluet melakukan dengar pendapat dengan DPRK Aceh Selatan. Dalam dengar-pendapat tersebut masyarakat mengeluhkan berbagai perilaku perusahaan yang tidak sesuai dengan janji yang mereka sepakati. Perilaku tersebut antara lain :
  • Tidak melakukan penyiraman jalan yang berdebu akibat dilintasi truk pengangkut bijih besi
  • Truk pengangkut hasil tambang tidak menutupi bak belakangnya sehingga ceceran material bertumpahan di sepanjang jalan                
  • Jembatan di desa Mersak yang menjadi miring akibat terus menerus dilalui truk KRM dengan kapasitas melebihi kemampuan jembatan
  • Pembayaran lahan yang dipakai perusahaan penambangan kepada masyarakat yang belum tuntas dan tidak jelas perhitungannya.
Untuk kasus seperti yang disebutkan dalam poin 4, terungkap bahwa untuk setiap ton material yang digali pada lahan masyarakat, perusahaan PT PSU membayar  Rp.10.000 untuk koperasi, Rp.2000 untuk KPA dan Rp.20.000 untuk masyarakat pemilik lahan. Uang ini akan dibayarkan setengah dulu, selanjutnya sisanya akan dibayar penuh setelah perusahaan berhasil mengeksport barang tambang tersebut (eksploitasi).

Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menghitung volume penambangan? Karena perusahaan tidak menempatkan alat timbangan di penambangan ataupun pada titik tertentu. Juga saat ini masyarakat menganggap perusahaan telah mengeksport hasil tambang dengan bukti bahwa selama ini material tambang telah dikapalkan ke luar negeri.

Juga dalam pertemuan dengan pihak DPRK yang juga dihadiri oleh perwakilan KSU Tiga Manggis dan KRM, banyak janji perusahaan untuk mengucurkan dana bagi pembangunan desa yang tidak ditepati.

Pihak KSU Tiega Manggis dan KRM membantah tidak menepati janji tersebut, mereka berkilah sebagian telah mereka tepati, seperti membayar orang untuk menyiram jalan, namun sebagian lainnya akan segera mereka tepati. Suasana rapat berubah menjadi memanas akibat saling melempar kesalahan.
Melihat situasi yang semakin memanas sesama masyarakat sekitar penambangan-satu kelompok yang  mendapat manfaat ekonomi dan satu kelompok lagi mendapat dampak buruk lingkungan- maka pemerintah Aceh Selatan harus segera turun tangan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Jika persoalan tersebut tidak ditangani dengan baik maka konflik horizontal dipastikan akan terjadi mengingat banyak pihak-pihak yang ikut ‘bermain’ dalam air keruh.

Pemerintah Aceh Selatan harus meninjau kembali izin-izin yang telah diberikan kepada KP pertambangan dan memastikan lahan yang digunakan telah melanggar kawasan terlarang untuk penambangan seperti hutan lindung dan taman nasional Leuser. 
Pemerintah merupakan kontributor terbesar atas rusaknya lingkungan dan konflik horizontal sesama masyarakat. Kontribusi ini melalui pengeluaran kebijakan yang tidak berwawasan lingkungan dan lambat dalam menangani potensi konflik. Pemerintah seharusnya bertindak cepat dan mendeteksi secara dini (early warning system) atas potensi konflik.
                                                                                                                                                                       
Laporan Hasil Investigasi ini dibuat di Banda Aceh pada tanggal 30 April 2010
Oleh Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar